Minggu, 07 November 2010

STATUS KEPEMILIKAN TANAH DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya, Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan tanah yang sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi tanah sangat dominan karena lahan tanah tidak sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.
Oleh karena itu masalah pertanahan merupakan tanggung jawab secara nasional untuk mewujudkan cara pemanfaatan penguasaan dan pemilikan tanah bagi kemakmuran rakyat sebagaimana dalam pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 yang berbunyi :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan
rakyat ”.
Tanah erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia, setiap orang pasti memerlukan tanah tidak hanya dalam kehidupannya, bahkan dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia salah satu dari persoalan yang banyak di jumpai pada masyarakat adalah persoalan mengenai sengketa tanah.
Masalah tanah tersebut sangatlah kompleks, karena tanah adalah merupakan Sumber Daya dan faktor produksi yang utama, baik bagi pembangunan maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bagi anggota masyarakat.
Persoalan mengenai tanah dalam kehidupan masyarakat adalah mempunyai arti penting, karena tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia sehingga kehidupan sebagian besar manusia tergantung pada tanah. Tanah dapat dinilai pula suatu harta yang permanen, berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Tanah juga dapat untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainya. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang menyadari betapa pentingnya permasalahan tentang tanah berupaya untuk membuat aturan tentang hukum agraria nasional yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui status tanah yang dapat dijadikan hak milik pribadi..
2. Untuk mengetahui konsep islam dalam menilai kepemilikan perorangan terhadap tanah.
3. Untuk mengetahui status kepemilikan tanah dalam Islam.
4. Untuk mengetahui landasan hukum kepemilikan tanah dalam islam.
5. Untuk mengetahui tanah sebagai salah satu faktor produksi.
1.3 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah tanah dapat dijadikan hak milik pribadi?
2. Bagaimana islam menilai kepemilikan pribadi atas sebidang tanah?
3. Apakah status tanah yang dimiliki secara pribadi di dalam islam?
4. Apakah landasan hukum kepemilikan tanah dalam islam?
5. Apakah tanah merupakan salah satu faktor produksi?
1.4 BATASAN MASALAH
Batasan masalah makalh ini adalah “ STATUS KEPEMILIKAN TANAH DALAM ILAM”
1.5 DEFINISI OPERASIONAL
• status sta.tus
[n] keadaan atau kedudukan
• kepemilikan ke.pe.mi.lik.an
[n] perihal pemilikan: tawaran itu mencakup -- sekaligus pengelolaan
• tanah ta.nah
[n] permukaan bumi atau lapisan bumi yg di atas sekali


• di
[p] kata depan untuk menandai tempat
• Islam Is.lam
[n] agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pd kitab suci Alquran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.
Jadi, status kepemilikan tanah di dalam islam yang dimaksud dalam makalah ini adalah kedudukan suatu bidang tanah atas kepemilikannya ditinjau dari hukum Islam.


















BAB II
STATUS KEPEMILIKAN TANAH DI DALAM ISLAM
Syaria’ah membagi tanah yang dianeksasi Darul Islam (Negara Islam) ke dalam tiga bentu kepemilikan, kepemilikan public, kepemilikan Negara, dan kepemilikan pribadi.
Syari’ah menentukan status kepemilikan tanah sesuai dengan bagaimana tanah tersebut masuk kepenguasaan Islam serta kondisinya ketika menjadi tanah Islam. Kepemilikan tanah di Irak berbeda dari kepemilikan tanah di Indonesia, karena kedua negara ini berbeda dalam cara mereka dianeksasi atau menjadi bagian dari Darul Islam. Di Irak sendiri, status kepemilikan tanah berbeda-beda sesuai dengan keadaan masing-masing tanah ketika Irak mulai menerima Islam.
Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari statuskepemilikan tanah, kita akan membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu membahas masing-masing kelas tersebut berikut statuskepemilikannya.
2.1 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Penaklukan (Fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan banyak belahan lain dunia Islam.
Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama. Ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang tercurah untuk menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi kepentingan manusia. Ada tanah ysng subur secara alami tanpa intervensi langsung manusia, seperti hutan yang penuh pepohonan, dimana tanah seperti itu mendapatkan kekayaannya secara alami tanpa intervensi manusia. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia maupun tangan alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini biasa disebut tanah mati.
Itulah tiga jenis tanah yang dibedakan oleh keadaannya ketika dianeksasi oleh Islam. Dalam Islam, tanah-tanah tersebut ada yang mendapat status milik publik, dan ada yang mendapat status milik negara, sebagaimana akan kita lihat nanti.
a. Tanah yang Digarap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan
Jika sebidang tanah pada saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh tangan manusia, dan ia berada dalam penguasaan seseorang dimana orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi milik bersama seluruh muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim di masa datang. Jadi, kaum Muslim-lah – di setiap periode sejarah – yang menjadi pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam, seorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya milik pribadi.
Seorang ulama besar Najafi, dalam kitab Al Jawahir-nya mengutip dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al Khiaf, dan At Tadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara para fakih Imamiyyah mengenai aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam. Demikian pula, Al Mawardi mengutip Imam Malik yang mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim [yang dikelola oleh negara] sejak saat ia ditaklukan, di mana waliyyul amr (kepala negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang dikelola oleh negara’.
Sejumlah Bukti dan Contoh Kepemilkan Publik
Teks-teks syari’ah dan penerapannya cukup jelas menegaskan prinsip kepemilikan publik atas jenis tanah ini (tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan), sebagaimana dapat terlihat dari berbagai riwayat berikut ini.
1. Al Halabi meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Imam Ja’far ibnu Muhammad ash Shadiq ihwal tanah as sawad (tanah hitam, yakni Irak), “Apakah statusnya?” Imam menjawab, “Ia milik seluruh generasi Muslim saat ini, dan Muslim yang masuk Islam setelah hari ini, juga mereka (generasi Muslim) yang belum lahir.”
2. Diriwayatkan dari Abu Rabi’ asy Syami bahwa Imam Ja’far berkata, “Jangan membeli tanah as sawad (Irak), karena ia adalah fay bagi kaum Muslim.”
Pada masa itu, istilah ardhus sawad (tanah hitam) adalah julukan bagi tanah Irak yang ditaklukkan kaum Muslim dalam perang suci (jihad). Kaum Muslim menjuluki tanah Irak sebagai tanah hitam karena ketika mereka bertolak dari Jazirah Arab dengan membawa misi suci lalu tiba di Irak, mereka melihat dedaunan, tumbuh-tumbuhan, dan pepohonan di sana tampak hitam.
3. Diriwayatkan oleh Hammad bahwa Imam Musa ibnu Ja’far mengatakan bahwa tanah yang diambil alih dengan kekuatan (secara paksa) adalah tanah amanah yang dipasrahkan [pengelolaannya] ke tangan orang yang menanami dan menghidupkannya. Kharaj (pajak) dikenakan atas mereka yang mengelola tanah-tanah ini sesuai dengan kapasitas (hasil yang didapat dari) tanah-tanah tersebut.
Dengan ini berarti, kepala negara memasrahkan tanah-tanah taklukkan (yang diakuisisi dengan kekuatan) ke tangan para individu Muslim yang menggarap dan bercocok tanam disana, lalu memberlakukan pajak tanah atas mereka karena tanah-tanah tersebut merupakan milik bersama umat Islam secara keseluruhan. Ketika para penggarap tanah-tanah tersebut mengambil keuntungan dengan bercocok tanam di sana, mereka harus membayar pajak atas keuntungan itu kepada umat. Pajak atau biaya sewa inilah yang disebut sebagai Kharaj sebagaimana tercantum dalam riwayat di atas.
4. Diriwayatkan bahwa Abu Bardah bertanya kepada Imam Ja’far ihwal pembelian tanah yang dikenai pajak. Imam menjawab, “memangnya siapa yang akan menjual tanah kaum Muslim (tanah milik umat Islam seluruhnya)?”
5. Dalam Kitabul Amwal diriwayatkan dari Abu ‘Aun ats Tsaqafi bahwa ada seorang penduduk desa memeluk Islam di masa Imam ‘Ali ibnu Abi Thalib. Imam bangkit dan berkata, “Bagimu tidak ada jizyah, dan tanahmu kini menjadi milik bersama [kaum Muslim].”

Perselisihan ihwal Bukti-bukti Pendukung Prinsip Kepemilikan Pribadi
Ada sejumlah ulama Islam yang cenderung memandang tanah taklukkan sama seperti rampasan perang lainnya. Maksudnya, tanah tersebut seharusnya juga dibagikan diantara para pejuang yang ikut serta dalam peperangan, dengan prinsip kepemilikan pribadi.
Secara hukum mereka bersandar pada dua hal; ayat ghanimah (rampasan perang yang dibagikan di antara mereka yang ikut berperang) dan riwayat ihwal tindakan Nabi saw. membagikan rampasan perang Khaibar.
Allah yang maha tinggi berfirman, “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. al Anfal [8]: 41).
Menurut pendapat mereka, sesuai dengan apa yang tersurat dalam ayat di atas, seperlima bagian dari rampasan perang harus disisihkan, sementara sisanya dibagikan diantara para pejuang yang ikut serta dalam peperangan, tanpa ada perbedaan antara tanah dan barang-barang bergerak. Namun faktanya adalah, ayat di atas hanya mengindikasikankewajiban untuk menyisihkan seperlima dari rampasan perang demi kepentingan kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil.
Lalu, atas dasar riwayat ihwal tindakan Nabi saw. membagikan rampasan perang Khaibar (yang juga menyatakan bahwa Nabi saw. membagikan tanah Khaibar di antara para mujahid berdasarkan prinsip kepemilikan pribadi), sejumlah ulama Islam itu yakin bahwa Nabi saw. memang membagikan tanah Khaibar di antara para mujahid atas dasar prinsip kepemilikan pribadi.
Namun, kita sepenuhnya meragukan keyakinan itu, bahkan jika riwayat tersebut kita anggap kuat. Hal ini dikarenakan sejarah meyuguhkan kita berbagai bukti lain ihwal tindakan Nabi saw. yang membantu kita dalam memahami aturan-aturan yang beliau tetapkan dalam pembagian rampasan perang Khaibar.
Ada banyak bukti yang menjelaskan bahwa Nabi saw telah menyisihkan sebagian besar tanah Khaibar demi kepentingan negara dan maslahat kaum Muslim. Ada sebuah hadis diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Sahl ibnu Abi Hathamah yang menyatakan bahwa Nabi saw. membagi tanah Khaibar menjadi dua bagian; satu bagian untuk memenuhi keperluan dan kebutuhannya, satu bagian lagi dibagikan di antara kaum Muslim . bagian yang terakhir ini kemudian dibagi lagi menjadi delapan belas bagian.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas adalah: tanah taklukan menjadi milik bersama umat Muslim jika pada saat penaklukkan tanah yersebut merupakan tanah garapan. Tanah seperti ini (tanah Kharaj) menjadi tanah amanat dan milik bersama umat Muslim . tanah seperti ini tidak menjadi subjek hukum waris, dan bila seorang individu dipercaya untuk mengelolanya, ini tidak berarti tanah tersebut menjadi hak miliknya. Sederhana saja, setiap Muslim memiliki hak atas tanah tersebut hanya karena ia seorang Muslim. Demikian pula, tanah kharaj tidak dapat diwariskan ataupun diperjualbelikan – karena penjualan barang amanat tidaklah sah.
Jika tanah kharaj terabaikan dan menjadi tanah tak tergarap, ia tetap tidak kehilangan statusnya sebagai milik bersama umat Muslim. Karena itu, individu tidak diperkenankan untuk menggarapnya kembali tanpa izin dari waliyyul amr. Bahkan individu yang telah menggarap dan menyuburkan kembali sebidang tanah mati, bisa mendapatkan hak kepemilikan pribadi atas tanah tersebut hanya jika status tanah tersebut adalah milik negara, bukan tanah kharaj. Tanah kharaj adalah milik bersama umat Muslim – sebagaimana dinyatakan oleh seorang ulama, penulis Al Balaghah, dalam kitabnya.
Jadi, tanah kharaj yang telah terabaikan tetap menjadi milik bersama umat Muslim, dan tidak menjadi milik pribadi individu yang menggarap dan menyuburkannya kembali.
b. Tanah Mati pada Saat Penaklukan
Sebidang tanah yang pada saat masuk dalam pangkuan Islam merupakan tanah yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia tidak masuk keruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal status kepemilikannya. Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukkan dipandang sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap (tanah mati) saat masuk kepangkuan Darul Islam dipandang sebagai milik negara.
Bukti Kepemilikan Negara atas Tanah Mati
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (Q.S. al Anfal [8]: 1)
Berkaitan dengan sebab turunnya ayat tersebut, Syekh ath Thusi meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya, at Tahzib, bahwa sejumlah orang meminta Rasulullah saw. untuk memberikan mereka bagian dari rampasan perang. Pada saat itulah ayat tersebut diturunkan, di mana ia menetapkan prinsip kepemilikan negara atas rampasan perang, dan menolak distribusi rampasan perang di antara para individu dengan prinsip kepemilikan pribadi.
Dalam Kitabul Amwal diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, seluruh tanah yang tidak dialiri air diserahkan ke dalam penguasaan beliau, sesuai dengan kehendak beliau.” Teks hadis ini tidak hanya memberlakukan prinsip kepemilikan negara atas tanah mati yang jauh dari (tidak mendapat) suplai air, namun juga menegaskan aplikasi prinsip ini selama periode kenabian. Jadi, tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan menjadi milik publik, sedangkan tanah yang merupakan tanah mati pada saat penaklukan menjadi milik negara.
c. Tanah yang Subur Secara Alami pada Saat penaklukan
Tanah yang subur pada saat penaklukan, jika masuk dalam pangkuan Islam melalui penaklukan dari tangan orang-orang kafir, maka mereka menjadi milik bersama kaum Muslim, karena tanah-tanah tersebut termasuk naungan teks hukum yang memberikan kaum Muslim hak kepemilikan atas tanah yang ditaklukan dengan kekuatan. Jadi, menurut teks-teks tersebut, hutan dan tanah-tanah seperti ini masuk ke ruang lingkup kepemilikan bersama, yang mana pemiliknya adalah umat secara keseluruhan. Maka, dalam hal ini tidak ada faktor apapun yang dapat membenarkan pemberian status tanah tak bertuan kepada hutan dan tanah-tanah seperti itu.
Dari sini kita dapat menggenarilisasi bahwa hutan dan tanah yang subur secara alami serta ditaklukan dengan kekuatan, mendapat status kepemilikan yang sama dengan tanah yang pada saat penaklukan subur berkat usaha manusia.
2.2 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Dakwah (Da’wah)
Tanah yang masuk wilayah Islam lewat dakwah disebut juga Ardlul Usyur. Ardlul Usyur adalah tanah yang diambil sepersepuluh atau setengahnya sebagai zakat dari produksi tanah tersebut. Itulah yang disebut dengan ardlun usyriyah (tanah sepersepuluhan). Disebut demikian, karena tanah tersebut diambil sepersepuluhnya sebagai pengeluaran zakat.
Tanah diatas mencakup semua tanah dimana penghuninya telah masuk Islam sejak pertama kali, seperti Madinah al-Munawaroh dan Indonesia. Penduduk Madinah pada masa Nabi dan masa khalifah setelahnya tidak menyerahkan kecuali 1/10 sebagai zakat hasil bumi. Seperti halnya tanah ‘Usyur juga mencakup semua jazirah Arab, baik penduduknya telah masuk Islam sejak pertama, atau tanah tersebut dibebaskan dengan kekerasan. Rasululloh menyerahkan tanah Makah kepada penduduk asli dan tidak mengambil alih tanah itu dari mereka. Demikian juga kawasan lain, selain tanah milik Yahudi. Demikian itu, karena orang Arab Musyrikin tidak mempunyai pilihan kecuali masuk Islam atau pedang. Allah telah memilih utusan-Nya dari golongan mereka, dan menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa mereka, maka sebenarnya merekalah yang lebih memahami terhadap kandungan al-Qur’an. Wajar jika Allah memerintahkan mereka masuk Islam, dan yang tidak menerima, dibunuh. Dan itu tidak bisa diganti dengan pembayaran jizyah sementara mereka masih tetap pada agamanya. Allah telah memulyakan orang Arab dari kerendahan semacam ini. Jizyah tidak diterima untuk menebus diri mereka, tanah mereka tidak dikenai pajak, bahkan semua jazirah Arab dijadikan sebagai wilayah Usyriyah, baik karena penduduknya telah masuk Islam, atau karena ditaklukkan dengan kekerasan. Dan penduduknya semua muslim. Rasululloh memberikan perintah agar orang Yahudi keluar dari tanah tersebut, sampai tak ada lagi agama selain Islam. karenanya, dari semenjak masa Nabi sampai sekarang, tak pernah diambil dari tanah tersebut kecuali hanya sepersepuluh dari hasil bumi.
Disamakan dengan status tanah diatas, semua wilayah yang dibebaskan oleh kaum muslimin melalui perang dan telah dibagikan sang penguasa kepada mereka yang berperang, seperti tanah Khaibar, atau ditetapkan oleh Imam kepada mereka atas sebagian dari tanah itu, seperti yang terjadi bersama pasukan umat Islam di wilayah Syam dan Hamsh. Al-Ahwash ibn Hakim menceritakan bahwa umat Islam yang telah membebaskan tanah Hamsh tidak memasuki wilayah itu, tetapi mereka berkemah diatas sungai Arbad lalu menghidupkannya. Kemudian dilanjutkan oleh Umar dan Utsman untuk mereka. Satu riwayat menyatakan, ketika Allah memberikan kemenangan pada kaum muslimin atas wilayah Syam dan berdamai dengan penduduk Damaskus dan Hamsh, mereka enggan memasuki wilayah tersebut tanpa melukai musuh Allah. Lalu Mereka berkemah di tanah subur Bardi antara tanah Mazzah sampai tanah Sya’ban. Dan dikanan-kiri tanah Bardi terdapat dataran subur yang diperbolehkan bagi penduduk Damaskus dan sekitarnya, dan tidak dimiliki oleh siapapun. Lalu mereka menempati tanah tersebut. Berita itu sampai pada Umar, lalu Umarpun menetapkannya untuk mereka. Dan Usmanpun melakukan hal yang sama seperti Umar. Penduduknya tidak dikenakan pajak bumi, mereka hanya dikenai zakat sepersepuluh, karena sejak awal tanah itu milik orang Islam dan tidak dikenai pajak.
Statusnya dianggap sebagai tanah ‘Usyr, yaitu tanah yang dialokasikan pemerintah untuk rakyatnya, dari tanah-tanah yang telah dibebaskan dengan kekerasan dan ditinggalkan oleh penghuninya karena menghindar dari kaum muslimin, atau tanah milik pemerintah yang telah dibebaskan, atau milik para penguasa wilayah itu atau milik familinya. Ada sebagian penduduk asli Madinah yang menemukan dalam sebuah diwan bahwa Umar ibn Khatab RA memutihkan harta keluarga raja-raja, orang-orang yang meninggalkan tanah miliknya, orang yang terbunuh dalam pertempuran, dan setiap orang yang kekurangan air. Lalu Umar menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada orang yang mau menggarapnya. Tanah tersebut dikenai zakat 1/10 dan tidak dikenai pajak bumi, karena sejak pertama kali tanah itu adalah milik orang Islam pemberian pemerintah.
Begitu pula tanah yang dibebaskan Allah kepada orang mukmin. Pemerintah menyediakan tanah tersebut untuk mereka yang mau menggarapnya. Demikian itu seperti yang dilakukan Rasululloh saw. memberikan tanah Habra, Hebron, Martum dan ‘Ainun dalam Kholil kepada Tamim Ad-Dari. Sebab Tamim dengan kelompoknya meminta kepada Rasululloh saw. untuk memberikan tanah-tanah tersebut jika sudah dibebaskan untuk orang mu’min. Lalu Rasul mengabulkan permintaannya dan mencatatnya. Dan Umar termasuk orang yang menyaksikan catatan tersebut. Dan ketika tanah itu bebas pada masa Umar, Tamim menagih Umar untuk menyerahkan tanah tersebut. Umarpun langsung menyerahkan tanah itu pada Tamim sesuai dengan janji Rasul. Demikian pula, tanah tanpa pemilik yang disediakan pemerintah untuk rakyatnya. Rasululloh saw. menyerahkan tanah Al-‘Aqiq Ajma’ —tanah dekat dengan Madinah—pada Bilal ibn Haris al-Muzani. Dan itu adalah tanah ‘usyr.
Dihukumi sebagai tanah ‘usyr setiap tanah yang dihidupkan oleh seseorang apapun cara menghidupkannya, baik itu dalam tanah-tanah yang berstatus ‘usyr; yaitu tanah yang berada di wilayah jazirah Arab, Indonesia dan setiap tanah yang pemiliknya telah masuk Islam, atau berada dalam kawasan tanah-tanah yang berstatus tanah kharaj seperti tanah Irak, Syam, Mesir dan wilayah lain yang dibebaskan dengan menggunakan kekerasan. Dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata; Rasululloh saw. bersabda; “barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”, diriwayatkan oleh At-Turmudzi. Dan lagi hadits Turmudzi melalui Sa’id ibn Zaid bahwa Nabi saw bersabda; “barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak hak bagi orang dzolim”.
Semua bentuk tanah yang disebut diatas adalah tanah ‘Usyr yang hanya dikenai zakat 1/10 dari penghasilan kalau airnya dari langit, dan setengahnya jika diairi dengan pengairan irigasi dan yang lain. Status tanah tidak berubah dan berganti-ganti, meskipun berpindah-pindah tangan. Tanah ‘Usyr adalah tanah yang pemiliknya masuk Islam atau awal dimiliki oleh orang Islam. Semua jazirah Arab, statusnya adalah tanah ‘Usyr. Tanah ‘Usyr bersifat konstan, tidak akan berubah, meskipun telah berpindah tangan ke orang kafir. Tanah itu wajib dizakati hasil buminya. Jika tidak menghasilkan, maka tidak wajib zakat. Dengan demikian, tanah hunian —yang dijadikan tempat pemukiman— tidak wajib dizakati kecuali kalau ditanami dan dijadikan barang dagangan, maka wajib dizakati sebagai zakat harta dagangan.
Tanah ‘usyr adalah milkul yamin (pemilikan secara penuh) bagi pemiliknya. Mereka memiliki tanah dan manfaatnya. Mereka berhak melakukan semua transaksi atas tanah tersebut dalam bentuk jual-beli, niaga, gadai, hibah, wakaf dan diwariskan. Tanah tersebut tidak bisa dicabut tanpa seizinnya. Negara harus mengganti harga tanah dan manfaatnya jika ingin membebaskan tanah tersebut. Hanya saja, tanah yang dibagikan penguasa kepada perorangan jika lewat tiga tahun tidak dikelola dan dimanfaatkan, maka ketika tanah itu dicabut dari pemiliknya dan diserahkan ke orang lain, negara tidak wajib membayar uang ganti rugi; baik ganti rugi tanah maupun ganti rugi manfaat tanah. Karena dia telah menyia-nyiakan tujuan pemberian itu, yaitu untuk dikelola dan dimanfaatkan, dan dia tidak lagi berhak atas tanah tersebut. Membiarkan tanah itu berada padanya berlakukan tindakan yang sia-sia. Karenanya, Umar meminta Bilal ibn Harits al-Muzani untuk mengembalikan tanah al-Aqiq yang tidak digarapnya, dengan berkata kepada Bilal terlebih dahulu; Rasululloh saw. memberimu tanah bukan untuk ditahan dari orang lain, tetapi untuk dikelola dan dimanfaatkan. Lalu Bilal menjawab; demi Allah, aku tidak melakukan apa-apa, dan Rasululloh saw memberiku sebidang tanah ini. Umar berkata kepadanya; demi Allah, kamu harus mengelolanya”. Dan Umar akhirnya mengambil tanah yang Bilal tidak mampun menggarapnya tanpa memberikan ganti rugi. Lalu Umar membagikan kepada orang lain. Diriwayatkan dari Umar “barangsiapa menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi miliknya, tidak ada hak bagi orang yang mengekang tanah selama masa tiga tahun”. Diapun berkata; “barangsiapa mengosongkan tanah tanpa mengelolanya selama tiga tahun, lalu datang orang lain dan menggarapnya, maka tanah tersebut milik orang yang menggarap tanah”. Dan ijma’ sahabat menetapkan orang yang tidak menggarap tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya itu dicabut dan diberikan kepada orang lain.
2.3 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Perjanjian (Shulh)
Tanah shulh adalah tanah dimana pemiliknya diajak berunding status tanahnya dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi umat Islam, apapun bentuknya. Ini berdasarkan al-Qur’an dan hadits shohih yang mewajibkan umat Islam untuk menepati janji-janjinya.
Ada beberapa macam tanah shulh sesuai bentuk perjanjian yang disepakati. Pertama; Tanah diserahkan kepada orang Islam dan pemiliknya dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan kesepakatan, seperti yang terjadi pada umat Yahudi Bani Nadlir. Rasululloh saw. melakukan perdamaian dengan mereka dengan memindahkan mereka dari madinah. Mereka boleh membawa harta bendanya kecuali senjata. Seorang pemimpin diberikan wewenang untuk menentukan bentuk perjanjian yang akan dipakai dengan memperhatikan kepentingan umat Islam.
Kedua; pemilik tanah masih tetap menempati tanahnya dengan syarat membayar pajak dengan jumlah tertentu. Status Tanah dan manfaatnya tetap menjadi miliknya sesuai dengan perjanjian. Mereka dapat melakukan berbagai transaksi, seperti yang mereka lakukan terhadap barang miliknya. Mereka boleh menjual, mewakafkan, menghibahkan atau mewariskan. Mereka hanya dikenai pajak yang telah ditentukan saat perjanjian, dan tidak ada tambahan-tambahan yang lain. Pajak ini statusnya seperti jizyah. Sehingga ketika kepemilikan tanah berpindah ke tangan orang Islam, maka ia tidak dikenai pajak. Karena tanahnya bukan tanah kharaj. Begitu pula ketika pemilik tanah itu masuk Islam, maka gugurlah kewajiban membayar pajak, seperti ditiadakannya jizyah dari orang Islam. Contoh model itu adalah tanah Hajar dan Bahrain. Ibn Majah meriwayatkan dari Al-Ala’ al-Hadlhromi, ia berkata; “Rasululloh saw. mengutusku ke Bahrain dan Hajar. Lalu saya mendatangi pembatas diantara saudara yang salah satunya masuk Islam. Maka saya mengambil 1/10 dari orang Islam dan pajak dari orang musyrik”. Demikian itu karena Hajar dan Bahrain dibebaskan secara damai, seperti halnya daerah Ailatul Aqobah, Daumatul Jandal, dan Adzruj. Daerah-daerah tersebut menyerhakn upeti pada Rasululloh saw. Demikian juga kota-kota Syam —selain Qisariah—wilayah Jazirah dan wilayah Khurasan. Seluruh wilayah diatas —atau kebanyakannya— dibebaskan dengan damai.karenanya hukumnya adalah hukum shulh.
Ketiga; tanahnya milik kita, dan mereka boleh menempati dan meramaikan tanah tersebut dengan kewajiban mereka membayar pajak yang telah disepakati. Hukum dan pajak tanah ini seperti hukum dan pajak tanah yang dibebaskan dengan kekerasan.
2.4 Tanah-tanah Lain yang Menjadi Milik Negara
Kita juga akan menemui jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan. Tanah-tanah sperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara dibawah penguasaan Nabi saw. dan para Imam seeninggal beliau, sebagaimana dinyatakan oleh Allah yang Mahatinggi dan Mahakuasa dalam ayat Alquran berikut ini:
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i)[1465] yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (Tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. al Hasyr [59]: 6).
Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa atau telah punah, ia menjadi milik negara sebagaimana dinyatakan di dalam sebuah riwayat dari Hammd ibnu ‘Isa dari Imam Musa ibnu Ja’far, “Anfal menjadi milik Imam. Anfal adalah setiap tanah yang penduduknya telah binasa (punah)....”
Begitu juga tanah yang baru terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol) yang terbentu ditengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik negara berdasarkan aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “setiap tanah yang tidak berpenghunu menjadi milik Imam.”
2.5 Batasan Otoritas Pribadi atas Tanah
Dari berbagai perincian yang telah dipaparkan diatas , kita dapat memahami wewenang seorang individu atas tanah, dimana hak pribadinya berdiri di atas dasar salah satu sebab ini:
1. Reklamasi atas sebidang tanah negara.
2. Masuknya para penduduk suatu daerah ke pengkuan Negara Islam secara sukarela, di mana mereka juga memeluk Islam secara sukarela.
3. Suatu daerah masuk menjadi bagian dari Darul Islam melalui perjanjian damai yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian.
2.6 Pandangan Umum Islam Ihwal Tanah
Berdasarkan aturan-aturan Islam yang beraneka ragam tentang tanah serta pemahaman kita akan berbagai perinciannya, kita dapat menyimpulkan pandangan umum Islam tentang tanah dan jalannya dibawah naungan Islam, yang mana Nabi saw. serta penerus beliau yang sah berusaha mengaplikasikannya. Sehingga ketika nanti kita coba menghadirkan aturan-aturan hukum Islam yang terkait dengan kekayaan alam dan sumber-sumber produksi dasar lainnya secara keseluruhan, kita akan kembali pada pandangan umum Islam ihwal tanah tersebut dan melihat melaluinya dengan pandangan yang lebih umu dan lebih luas, guna memformulasikan dasar dan fondasi doktrinal bagi distribusi sebelum produksi.
Kita harus memperjelas posisi Islam dalam memeriksa kandungan ekonomi dari pandangan Islam tentang tanah juga mengisolasinya dari segala pertimbangan politik. Untuk itu, sebaiknya kita mulai dengan menentukan pandangan umum Islam dari sebuah contoh ilustratif yang dapat membantu kita memahami kandungan ekonomi pandangan umum tersebut, bebas dari segala beban politiknya.
Mari kita andaikan bahwa sekelompok kaum Muslim bermaksud untuk menjadikan suatu daerah yang masih perawan sebagai tanah air (tempat bermukim) mereka. Lalu disana tumbuhlah masyarakat Islam yang membangun berbagai hubungannya berdasarkan Islam. Mari kita bayangkan bahwa pemimpin mereka yang sah, yakni Nabi saw. atau khalifah beliau, mengatur hubungan-hubungan ini dan mewujudkan Islam dalam masyarakat itu dengan segala kebaikan dan nilai ideologis, budaya, serta hukumnya secara keseluruhan. Lalu, di manakah posisi sang pemimpin dan masyarakat dalam hubungannya dengan tanah dan pengaturan kepemilikannya?
Jawaban atas pertanyaan di atas bisa didapatkan dari berbagai perincian yang telah dipaparkan. Tanah dalam contoh kita di atas – yang kita andaikan menjadi tanah air masyarakat Islam, dimana peradaban surgawi akan tumbuh – kita asumsikan sebagai tanah yang masih perawan, belum terjamah manusia. Artinya, untuk pertama kalinya tanah tersebut bersentuhan dengan manusia dan masuk ke kehidupannya pada sebuah momen sejarah.
Lazimnya, tanah dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, tanah yang subur secara alami, di mana alam menyuplainya dengan segala penopang kehidupan, seperti air, kehangatan, kegemburan, dan hal-hal lainnya. Kedua, tanah yang tidak dinikmati anugerah alam itu sehingga membutuhkan kerja manusia untuk memenuhi hal-hal tersebut. Dalam terminologi hukum, tanah ini disebut sebagai tanah mati. Maka tanah tadi yang kita asumsikan menjadi saksi bagi lahirnya masyarakat Islam, adalah tanah yang subur secara alami atau tanah mati, dan tidak ada jenis ketiga.

2.7 Penentang Kepemilikan Tanah
Berbagai keraguan yang biasanya dihembuskan oleh para penentang kepemilikan tanah sering kali diarahkan pada kemunculan historisnya yang bermasalah dan pada akar-akarnya yang telah tertanam selama berabad-abad. Terkadang lebih jauh dar itu. Mereka menganggap gagasan kepemilikan dan hak individu atas tanah sebagai turunan niscaya dari prinsip keadilan sosial.
Kemunculan kepemilikan tanah dan wewenag historisnya sebagian besar dianggap berasal dari kekuasaan dan dominasi. Kekuasaan dan dominasi memainkan peran penting di dalam sejarah, dalam seluruh ketidakadilan distribusi tanah dan pelimpahan hak atas tanah di antara para individu. Nah, jika dalam sekarah manusia diketahui bahwa kekuasaan dan perampasan serta faktor-faktor kekerasan lainnyalah yang menjadi pembenar faktual dan otoritas historis bagi kepemilikan tanah dan hak-hak atas tanah, maka wajar jika hak-hak ini diakhiri dan kepemilikan tanah sebagaimana dicatat dalam sejarah dipandang sebagai jenis perampokan.
Kita tidak menyangkal keberadaan faktor-faktor kekuatan dan perampasan maupun peran mereka dalam sejarah. Namun, faktor-faktor ini tidak menjelaskan kemunculan kepemilikan tanah dan hak-hak atas tanah sebagaimana dicatat di dalam sejarah. Karena jika anda merampas sebidang tanah dengan kekuatan dan kekerasan, maka hal ini berarti harus ada orang lain yang lebih dulu memiliki tanah tersebut sebelum anda rebut. Tanah tersebut harus menjadi milik orang lain dulu sebelum anda rampas dengan kekuatan dan kekerasan.
Mari kita bayangkan sebuah suku primitip menetap di suatu daerah dan memulai kehidupan pertaniannya. Setiap individu suku itu pasti menguasai sebidang tanah di daerah itu sesuai dengan kemampuan dan sarana yang dimilikinya. Ia akan menggarap tanah tersebut guna menikmati hasil dan manfaatnya. Pembagian tanah ini didasarkan oleh kerja, di mana tidak mungkin semua individu menguasai setiap jengkal tanah di daerah tersebut. Dari pembagian ini akan muncul hak-hak privat para individu. Inilah awal munculnya hak atas tanah, yang tepat berdasarkan kerja serta usaha yang dicurahkan seorang individu. Setelah itu barulah faktor kekuatan dan kekerasan muncul, ketika seseorang yang lebih kuat dan berkuasa merampas tanah serta ladang-ladang orang lain.
2.8 Komponen Politis Kepemilikan Tanah
Islam mengakui sisi politis dari tindakan menghidupkan tanah yang sejatinya merupakan tindakan ekonomi. Tindakan politis yang dilakukan atas tanah dan yang memberikan prilakunya hak atas tanah tersebut, adalah tindakan yang dengannya tanah tersebut masuk ke pangkuan Islam.
Faktanya, masuknya tanah menjadi bagian dari kehidupan Islami, serta kontribusinya dalam kehidupan islami dan kemakmuran materialnya, sering kali disebabkan oleh faktor ekonomi. Contohnya adalah usaha yang dilakukan individu dalam mereklamasi sebidang tanah yang masuk ke pangkuan Islam, di mana ia menghidupkan tanah tersebut dan membuatnya berkontribusi dengan produktivitasnya. Begitu pula, di saat yang lain hal ini bisa disebabkan oleh faktor politis. Contohnya adalah tindakan memasukkan tanah hidup dan subur ke pangkuan Islam. Kedua jenis tindakan ini (tindakan ekonomi dan tindakan politis) memiliki landasannya masing-masing dalam Islam.
Tindakan memasukkan tanah hidup dan subur ke pangkuan Islam terdiri dari dua jenis. Pertama, tanah ditaklukan dan jatuh ke tangan pasukan Muslim lewat jihad. Kedua, tanah masuk kepangkuaan Islam karena penduduknya menyerah secara sukarela.
Jika tanah masuk ke pangkuaan Islam dan menjadi bagian dari kehidupan islami lewat penaklukkan, maka tindakan politis di sini akan dipandang sebagai tindakan umat secara keseluruhan, bukan tindakan individu tertentu. Karena alasan itulah, umat secara keseluruhan menjadi pemilik tanah tersebut atas dasar prinsip kepemilikan publik.
Tetapi, jika tanah subur masuk ke pangkuan Islam dan menjadi bagian dari masyarakat islami dikarenakan para pemiliknya menyerah dan menerima Islam, maka tindakan politis di sini adalah tindakan para individu, bukan tindakan umat. Karena itulah di sini Islam mengakuihak para individu berkenaan dengan tanah subur milik mereka, dan memberi mereka hak untuk tetap menguasai tanah mereka.



























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kita dapat menarik aturan-aturan syari’ah berikut ini yang berlaku atas setiap tanah yang ketika dianeksasi oleh Darul Islam merupakan tanah subur yang digarap oleh usaha manusia.
Pertama, tanah tersebut menjadi milik bersama umat Muslim, di mana setiap individu tidak bisa mendapatkan hak milik atasnya.
Kedua, setiap Muslim memiliki hak atas tanah tersebut dalam kapasitasnya sebgai bagian dari masyarakat Muslim, namun para kerabatnya tidak berhak mewarisi tanah itu darinya.
Ketiga, setiap individu tidak berhak memindahtangankan hak kepemilikan tanah tersebut dengan cara menjualnya, memberikannya sebagai hadiah, ataupun dengan cara-cara lainnya.
Keempat, waliyyul amr adalah pihak yang bertanggung jawab dalam menjaga dan memanfaatkan tanah tersebut, serta berhak untuk membebankan pajak tanah kepada para penggarapnya.
Kelima, status kepemilikan pajak tanah yang dibayarkan para penggarap kepada waliyyul amr, sama dengan status kepemilkan tanah tersebut, yaitu: milik bersama umat Muslim.
Keenam, hubungan antara tanah tersebut dengan para penggarapnya berakhir seiring dengan berakhirnya kontrak sewa. Para penggarap tidak berhak memonopoli penguasaan terhadap tanah tersebut setelah kontrak sewa berakhir.
Ketujuh, jika tanah kharaj tidak tergarap dan menjadi tanah mati, ia tetap tidak kehilangan statusnya sebagai milik publik. Seorang individu yang menggarap dan menghidupkan kembali tanah tersebut, tetap tidak diperkenankan menguasainya sebagai milik pribadi.
Kedelapan, keadan tanah yang digarap dengan usaha dan kerja pemilik aslinya pada saat penaklukan, dipandang sebagai dasar bagi penyematan status milik bersama, serta sebagai dasar bagi pemberlakuan aturan-auran di atas. Tanah taklukan tidak terkena aturan-aturan tersebut kecuali bila ia – pada aat penaklukan – merupakan tanah garapan yang melibatkan usaha manusia.
Sedangkan tanah yang pemiliknya masuk Islam secara sukarela, maka ia memiliki hak atas tanah yang dikelolanya tanpa harus membayar pajak kepada pemerintah.

5 komentar: