Minggu, 07 November 2010

STATUS KEPEMILIKAN TANAH DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya, Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan tanah yang sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi tanah sangat dominan karena lahan tanah tidak sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.
Oleh karena itu masalah pertanahan merupakan tanggung jawab secara nasional untuk mewujudkan cara pemanfaatan penguasaan dan pemilikan tanah bagi kemakmuran rakyat sebagaimana dalam pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 yang berbunyi :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan
rakyat ”.
Tanah erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia, setiap orang pasti memerlukan tanah tidak hanya dalam kehidupannya, bahkan dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia salah satu dari persoalan yang banyak di jumpai pada masyarakat adalah persoalan mengenai sengketa tanah.
Masalah tanah tersebut sangatlah kompleks, karena tanah adalah merupakan Sumber Daya dan faktor produksi yang utama, baik bagi pembangunan maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bagi anggota masyarakat.
Persoalan mengenai tanah dalam kehidupan masyarakat adalah mempunyai arti penting, karena tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia sehingga kehidupan sebagian besar manusia tergantung pada tanah. Tanah dapat dinilai pula suatu harta yang permanen, berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Tanah juga dapat untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainya. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang menyadari betapa pentingnya permasalahan tentang tanah berupaya untuk membuat aturan tentang hukum agraria nasional yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui status tanah yang dapat dijadikan hak milik pribadi..
2. Untuk mengetahui konsep islam dalam menilai kepemilikan perorangan terhadap tanah.
3. Untuk mengetahui status kepemilikan tanah dalam Islam.
4. Untuk mengetahui landasan hukum kepemilikan tanah dalam islam.
5. Untuk mengetahui tanah sebagai salah satu faktor produksi.
1.3 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah tanah dapat dijadikan hak milik pribadi?
2. Bagaimana islam menilai kepemilikan pribadi atas sebidang tanah?
3. Apakah status tanah yang dimiliki secara pribadi di dalam islam?
4. Apakah landasan hukum kepemilikan tanah dalam islam?
5. Apakah tanah merupakan salah satu faktor produksi?
1.4 BATASAN MASALAH
Batasan masalah makalh ini adalah “ STATUS KEPEMILIKAN TANAH DALAM ILAM”
1.5 DEFINISI OPERASIONAL
• status sta.tus
[n] keadaan atau kedudukan
• kepemilikan ke.pe.mi.lik.an
[n] perihal pemilikan: tawaran itu mencakup -- sekaligus pengelolaan
• tanah ta.nah
[n] permukaan bumi atau lapisan bumi yg di atas sekali


• di
[p] kata depan untuk menandai tempat
• Islam Is.lam
[n] agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pd kitab suci Alquran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.
Jadi, status kepemilikan tanah di dalam islam yang dimaksud dalam makalah ini adalah kedudukan suatu bidang tanah atas kepemilikannya ditinjau dari hukum Islam.


















BAB II
STATUS KEPEMILIKAN TANAH DI DALAM ISLAM
Syaria’ah membagi tanah yang dianeksasi Darul Islam (Negara Islam) ke dalam tiga bentu kepemilikan, kepemilikan public, kepemilikan Negara, dan kepemilikan pribadi.
Syari’ah menentukan status kepemilikan tanah sesuai dengan bagaimana tanah tersebut masuk kepenguasaan Islam serta kondisinya ketika menjadi tanah Islam. Kepemilikan tanah di Irak berbeda dari kepemilikan tanah di Indonesia, karena kedua negara ini berbeda dalam cara mereka dianeksasi atau menjadi bagian dari Darul Islam. Di Irak sendiri, status kepemilikan tanah berbeda-beda sesuai dengan keadaan masing-masing tanah ketika Irak mulai menerima Islam.
Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari statuskepemilikan tanah, kita akan membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu membahas masing-masing kelas tersebut berikut statuskepemilikannya.
2.1 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Penaklukan (Fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan banyak belahan lain dunia Islam.
Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama. Ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang tercurah untuk menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi kepentingan manusia. Ada tanah ysng subur secara alami tanpa intervensi langsung manusia, seperti hutan yang penuh pepohonan, dimana tanah seperti itu mendapatkan kekayaannya secara alami tanpa intervensi manusia. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia maupun tangan alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini biasa disebut tanah mati.
Itulah tiga jenis tanah yang dibedakan oleh keadaannya ketika dianeksasi oleh Islam. Dalam Islam, tanah-tanah tersebut ada yang mendapat status milik publik, dan ada yang mendapat status milik negara, sebagaimana akan kita lihat nanti.
a. Tanah yang Digarap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan
Jika sebidang tanah pada saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh tangan manusia, dan ia berada dalam penguasaan seseorang dimana orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi milik bersama seluruh muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim di masa datang. Jadi, kaum Muslim-lah – di setiap periode sejarah – yang menjadi pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam, seorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya milik pribadi.
Seorang ulama besar Najafi, dalam kitab Al Jawahir-nya mengutip dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al Khiaf, dan At Tadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara para fakih Imamiyyah mengenai aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam. Demikian pula, Al Mawardi mengutip Imam Malik yang mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim [yang dikelola oleh negara] sejak saat ia ditaklukan, di mana waliyyul amr (kepala negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang dikelola oleh negara’.
Sejumlah Bukti dan Contoh Kepemilkan Publik
Teks-teks syari’ah dan penerapannya cukup jelas menegaskan prinsip kepemilikan publik atas jenis tanah ini (tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan), sebagaimana dapat terlihat dari berbagai riwayat berikut ini.
1. Al Halabi meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Imam Ja’far ibnu Muhammad ash Shadiq ihwal tanah as sawad (tanah hitam, yakni Irak), “Apakah statusnya?” Imam menjawab, “Ia milik seluruh generasi Muslim saat ini, dan Muslim yang masuk Islam setelah hari ini, juga mereka (generasi Muslim) yang belum lahir.”
2. Diriwayatkan dari Abu Rabi’ asy Syami bahwa Imam Ja’far berkata, “Jangan membeli tanah as sawad (Irak), karena ia adalah fay bagi kaum Muslim.”
Pada masa itu, istilah ardhus sawad (tanah hitam) adalah julukan bagi tanah Irak yang ditaklukkan kaum Muslim dalam perang suci (jihad). Kaum Muslim menjuluki tanah Irak sebagai tanah hitam karena ketika mereka bertolak dari Jazirah Arab dengan membawa misi suci lalu tiba di Irak, mereka melihat dedaunan, tumbuh-tumbuhan, dan pepohonan di sana tampak hitam.
3. Diriwayatkan oleh Hammad bahwa Imam Musa ibnu Ja’far mengatakan bahwa tanah yang diambil alih dengan kekuatan (secara paksa) adalah tanah amanah yang dipasrahkan [pengelolaannya] ke tangan orang yang menanami dan menghidupkannya. Kharaj (pajak) dikenakan atas mereka yang mengelola tanah-tanah ini sesuai dengan kapasitas (hasil yang didapat dari) tanah-tanah tersebut.
Dengan ini berarti, kepala negara memasrahkan tanah-tanah taklukkan (yang diakuisisi dengan kekuatan) ke tangan para individu Muslim yang menggarap dan bercocok tanam disana, lalu memberlakukan pajak tanah atas mereka karena tanah-tanah tersebut merupakan milik bersama umat Islam secara keseluruhan. Ketika para penggarap tanah-tanah tersebut mengambil keuntungan dengan bercocok tanam di sana, mereka harus membayar pajak atas keuntungan itu kepada umat. Pajak atau biaya sewa inilah yang disebut sebagai Kharaj sebagaimana tercantum dalam riwayat di atas.
4. Diriwayatkan bahwa Abu Bardah bertanya kepada Imam Ja’far ihwal pembelian tanah yang dikenai pajak. Imam menjawab, “memangnya siapa yang akan menjual tanah kaum Muslim (tanah milik umat Islam seluruhnya)?”
5. Dalam Kitabul Amwal diriwayatkan dari Abu ‘Aun ats Tsaqafi bahwa ada seorang penduduk desa memeluk Islam di masa Imam ‘Ali ibnu Abi Thalib. Imam bangkit dan berkata, “Bagimu tidak ada jizyah, dan tanahmu kini menjadi milik bersama [kaum Muslim].”

Perselisihan ihwal Bukti-bukti Pendukung Prinsip Kepemilikan Pribadi
Ada sejumlah ulama Islam yang cenderung memandang tanah taklukkan sama seperti rampasan perang lainnya. Maksudnya, tanah tersebut seharusnya juga dibagikan diantara para pejuang yang ikut serta dalam peperangan, dengan prinsip kepemilikan pribadi.
Secara hukum mereka bersandar pada dua hal; ayat ghanimah (rampasan perang yang dibagikan di antara mereka yang ikut berperang) dan riwayat ihwal tindakan Nabi saw. membagikan rampasan perang Khaibar.
Allah yang maha tinggi berfirman, “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. al Anfal [8]: 41).
Menurut pendapat mereka, sesuai dengan apa yang tersurat dalam ayat di atas, seperlima bagian dari rampasan perang harus disisihkan, sementara sisanya dibagikan diantara para pejuang yang ikut serta dalam peperangan, tanpa ada perbedaan antara tanah dan barang-barang bergerak. Namun faktanya adalah, ayat di atas hanya mengindikasikankewajiban untuk menyisihkan seperlima dari rampasan perang demi kepentingan kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil.
Lalu, atas dasar riwayat ihwal tindakan Nabi saw. membagikan rampasan perang Khaibar (yang juga menyatakan bahwa Nabi saw. membagikan tanah Khaibar di antara para mujahid berdasarkan prinsip kepemilikan pribadi), sejumlah ulama Islam itu yakin bahwa Nabi saw. memang membagikan tanah Khaibar di antara para mujahid atas dasar prinsip kepemilikan pribadi.
Namun, kita sepenuhnya meragukan keyakinan itu, bahkan jika riwayat tersebut kita anggap kuat. Hal ini dikarenakan sejarah meyuguhkan kita berbagai bukti lain ihwal tindakan Nabi saw. yang membantu kita dalam memahami aturan-aturan yang beliau tetapkan dalam pembagian rampasan perang Khaibar.
Ada banyak bukti yang menjelaskan bahwa Nabi saw telah menyisihkan sebagian besar tanah Khaibar demi kepentingan negara dan maslahat kaum Muslim. Ada sebuah hadis diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Sahl ibnu Abi Hathamah yang menyatakan bahwa Nabi saw. membagi tanah Khaibar menjadi dua bagian; satu bagian untuk memenuhi keperluan dan kebutuhannya, satu bagian lagi dibagikan di antara kaum Muslim . bagian yang terakhir ini kemudian dibagi lagi menjadi delapan belas bagian.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas adalah: tanah taklukan menjadi milik bersama umat Muslim jika pada saat penaklukkan tanah yersebut merupakan tanah garapan. Tanah seperti ini (tanah Kharaj) menjadi tanah amanat dan milik bersama umat Muslim . tanah seperti ini tidak menjadi subjek hukum waris, dan bila seorang individu dipercaya untuk mengelolanya, ini tidak berarti tanah tersebut menjadi hak miliknya. Sederhana saja, setiap Muslim memiliki hak atas tanah tersebut hanya karena ia seorang Muslim. Demikian pula, tanah kharaj tidak dapat diwariskan ataupun diperjualbelikan – karena penjualan barang amanat tidaklah sah.
Jika tanah kharaj terabaikan dan menjadi tanah tak tergarap, ia tetap tidak kehilangan statusnya sebagai milik bersama umat Muslim. Karena itu, individu tidak diperkenankan untuk menggarapnya kembali tanpa izin dari waliyyul amr. Bahkan individu yang telah menggarap dan menyuburkan kembali sebidang tanah mati, bisa mendapatkan hak kepemilikan pribadi atas tanah tersebut hanya jika status tanah tersebut adalah milik negara, bukan tanah kharaj. Tanah kharaj adalah milik bersama umat Muslim – sebagaimana dinyatakan oleh seorang ulama, penulis Al Balaghah, dalam kitabnya.
Jadi, tanah kharaj yang telah terabaikan tetap menjadi milik bersama umat Muslim, dan tidak menjadi milik pribadi individu yang menggarap dan menyuburkannya kembali.
b. Tanah Mati pada Saat Penaklukan
Sebidang tanah yang pada saat masuk dalam pangkuan Islam merupakan tanah yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia tidak masuk keruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal status kepemilikannya. Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukkan dipandang sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap (tanah mati) saat masuk kepangkuan Darul Islam dipandang sebagai milik negara.
Bukti Kepemilikan Negara atas Tanah Mati
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (Q.S. al Anfal [8]: 1)
Berkaitan dengan sebab turunnya ayat tersebut, Syekh ath Thusi meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya, at Tahzib, bahwa sejumlah orang meminta Rasulullah saw. untuk memberikan mereka bagian dari rampasan perang. Pada saat itulah ayat tersebut diturunkan, di mana ia menetapkan prinsip kepemilikan negara atas rampasan perang, dan menolak distribusi rampasan perang di antara para individu dengan prinsip kepemilikan pribadi.
Dalam Kitabul Amwal diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, seluruh tanah yang tidak dialiri air diserahkan ke dalam penguasaan beliau, sesuai dengan kehendak beliau.” Teks hadis ini tidak hanya memberlakukan prinsip kepemilikan negara atas tanah mati yang jauh dari (tidak mendapat) suplai air, namun juga menegaskan aplikasi prinsip ini selama periode kenabian. Jadi, tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan menjadi milik publik, sedangkan tanah yang merupakan tanah mati pada saat penaklukan menjadi milik negara.
c. Tanah yang Subur Secara Alami pada Saat penaklukan
Tanah yang subur pada saat penaklukan, jika masuk dalam pangkuan Islam melalui penaklukan dari tangan orang-orang kafir, maka mereka menjadi milik bersama kaum Muslim, karena tanah-tanah tersebut termasuk naungan teks hukum yang memberikan kaum Muslim hak kepemilikan atas tanah yang ditaklukan dengan kekuatan. Jadi, menurut teks-teks tersebut, hutan dan tanah-tanah seperti ini masuk ke ruang lingkup kepemilikan bersama, yang mana pemiliknya adalah umat secara keseluruhan. Maka, dalam hal ini tidak ada faktor apapun yang dapat membenarkan pemberian status tanah tak bertuan kepada hutan dan tanah-tanah seperti itu.
Dari sini kita dapat menggenarilisasi bahwa hutan dan tanah yang subur secara alami serta ditaklukan dengan kekuatan, mendapat status kepemilikan yang sama dengan tanah yang pada saat penaklukan subur berkat usaha manusia.
2.2 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Dakwah (Da’wah)
Tanah yang masuk wilayah Islam lewat dakwah disebut juga Ardlul Usyur. Ardlul Usyur adalah tanah yang diambil sepersepuluh atau setengahnya sebagai zakat dari produksi tanah tersebut. Itulah yang disebut dengan ardlun usyriyah (tanah sepersepuluhan). Disebut demikian, karena tanah tersebut diambil sepersepuluhnya sebagai pengeluaran zakat.
Tanah diatas mencakup semua tanah dimana penghuninya telah masuk Islam sejak pertama kali, seperti Madinah al-Munawaroh dan Indonesia. Penduduk Madinah pada masa Nabi dan masa khalifah setelahnya tidak menyerahkan kecuali 1/10 sebagai zakat hasil bumi. Seperti halnya tanah ‘Usyur juga mencakup semua jazirah Arab, baik penduduknya telah masuk Islam sejak pertama, atau tanah tersebut dibebaskan dengan kekerasan. Rasululloh menyerahkan tanah Makah kepada penduduk asli dan tidak mengambil alih tanah itu dari mereka. Demikian juga kawasan lain, selain tanah milik Yahudi. Demikian itu, karena orang Arab Musyrikin tidak mempunyai pilihan kecuali masuk Islam atau pedang. Allah telah memilih utusan-Nya dari golongan mereka, dan menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa mereka, maka sebenarnya merekalah yang lebih memahami terhadap kandungan al-Qur’an. Wajar jika Allah memerintahkan mereka masuk Islam, dan yang tidak menerima, dibunuh. Dan itu tidak bisa diganti dengan pembayaran jizyah sementara mereka masih tetap pada agamanya. Allah telah memulyakan orang Arab dari kerendahan semacam ini. Jizyah tidak diterima untuk menebus diri mereka, tanah mereka tidak dikenai pajak, bahkan semua jazirah Arab dijadikan sebagai wilayah Usyriyah, baik karena penduduknya telah masuk Islam, atau karena ditaklukkan dengan kekerasan. Dan penduduknya semua muslim. Rasululloh memberikan perintah agar orang Yahudi keluar dari tanah tersebut, sampai tak ada lagi agama selain Islam. karenanya, dari semenjak masa Nabi sampai sekarang, tak pernah diambil dari tanah tersebut kecuali hanya sepersepuluh dari hasil bumi.
Disamakan dengan status tanah diatas, semua wilayah yang dibebaskan oleh kaum muslimin melalui perang dan telah dibagikan sang penguasa kepada mereka yang berperang, seperti tanah Khaibar, atau ditetapkan oleh Imam kepada mereka atas sebagian dari tanah itu, seperti yang terjadi bersama pasukan umat Islam di wilayah Syam dan Hamsh. Al-Ahwash ibn Hakim menceritakan bahwa umat Islam yang telah membebaskan tanah Hamsh tidak memasuki wilayah itu, tetapi mereka berkemah diatas sungai Arbad lalu menghidupkannya. Kemudian dilanjutkan oleh Umar dan Utsman untuk mereka. Satu riwayat menyatakan, ketika Allah memberikan kemenangan pada kaum muslimin atas wilayah Syam dan berdamai dengan penduduk Damaskus dan Hamsh, mereka enggan memasuki wilayah tersebut tanpa melukai musuh Allah. Lalu Mereka berkemah di tanah subur Bardi antara tanah Mazzah sampai tanah Sya’ban. Dan dikanan-kiri tanah Bardi terdapat dataran subur yang diperbolehkan bagi penduduk Damaskus dan sekitarnya, dan tidak dimiliki oleh siapapun. Lalu mereka menempati tanah tersebut. Berita itu sampai pada Umar, lalu Umarpun menetapkannya untuk mereka. Dan Usmanpun melakukan hal yang sama seperti Umar. Penduduknya tidak dikenakan pajak bumi, mereka hanya dikenai zakat sepersepuluh, karena sejak awal tanah itu milik orang Islam dan tidak dikenai pajak.
Statusnya dianggap sebagai tanah ‘Usyr, yaitu tanah yang dialokasikan pemerintah untuk rakyatnya, dari tanah-tanah yang telah dibebaskan dengan kekerasan dan ditinggalkan oleh penghuninya karena menghindar dari kaum muslimin, atau tanah milik pemerintah yang telah dibebaskan, atau milik para penguasa wilayah itu atau milik familinya. Ada sebagian penduduk asli Madinah yang menemukan dalam sebuah diwan bahwa Umar ibn Khatab RA memutihkan harta keluarga raja-raja, orang-orang yang meninggalkan tanah miliknya, orang yang terbunuh dalam pertempuran, dan setiap orang yang kekurangan air. Lalu Umar menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada orang yang mau menggarapnya. Tanah tersebut dikenai zakat 1/10 dan tidak dikenai pajak bumi, karena sejak pertama kali tanah itu adalah milik orang Islam pemberian pemerintah.
Begitu pula tanah yang dibebaskan Allah kepada orang mukmin. Pemerintah menyediakan tanah tersebut untuk mereka yang mau menggarapnya. Demikian itu seperti yang dilakukan Rasululloh saw. memberikan tanah Habra, Hebron, Martum dan ‘Ainun dalam Kholil kepada Tamim Ad-Dari. Sebab Tamim dengan kelompoknya meminta kepada Rasululloh saw. untuk memberikan tanah-tanah tersebut jika sudah dibebaskan untuk orang mu’min. Lalu Rasul mengabulkan permintaannya dan mencatatnya. Dan Umar termasuk orang yang menyaksikan catatan tersebut. Dan ketika tanah itu bebas pada masa Umar, Tamim menagih Umar untuk menyerahkan tanah tersebut. Umarpun langsung menyerahkan tanah itu pada Tamim sesuai dengan janji Rasul. Demikian pula, tanah tanpa pemilik yang disediakan pemerintah untuk rakyatnya. Rasululloh saw. menyerahkan tanah Al-‘Aqiq Ajma’ —tanah dekat dengan Madinah—pada Bilal ibn Haris al-Muzani. Dan itu adalah tanah ‘usyr.
Dihukumi sebagai tanah ‘usyr setiap tanah yang dihidupkan oleh seseorang apapun cara menghidupkannya, baik itu dalam tanah-tanah yang berstatus ‘usyr; yaitu tanah yang berada di wilayah jazirah Arab, Indonesia dan setiap tanah yang pemiliknya telah masuk Islam, atau berada dalam kawasan tanah-tanah yang berstatus tanah kharaj seperti tanah Irak, Syam, Mesir dan wilayah lain yang dibebaskan dengan menggunakan kekerasan. Dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata; Rasululloh saw. bersabda; “barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”, diriwayatkan oleh At-Turmudzi. Dan lagi hadits Turmudzi melalui Sa’id ibn Zaid bahwa Nabi saw bersabda; “barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak hak bagi orang dzolim”.
Semua bentuk tanah yang disebut diatas adalah tanah ‘Usyr yang hanya dikenai zakat 1/10 dari penghasilan kalau airnya dari langit, dan setengahnya jika diairi dengan pengairan irigasi dan yang lain. Status tanah tidak berubah dan berganti-ganti, meskipun berpindah-pindah tangan. Tanah ‘Usyr adalah tanah yang pemiliknya masuk Islam atau awal dimiliki oleh orang Islam. Semua jazirah Arab, statusnya adalah tanah ‘Usyr. Tanah ‘Usyr bersifat konstan, tidak akan berubah, meskipun telah berpindah tangan ke orang kafir. Tanah itu wajib dizakati hasil buminya. Jika tidak menghasilkan, maka tidak wajib zakat. Dengan demikian, tanah hunian —yang dijadikan tempat pemukiman— tidak wajib dizakati kecuali kalau ditanami dan dijadikan barang dagangan, maka wajib dizakati sebagai zakat harta dagangan.
Tanah ‘usyr adalah milkul yamin (pemilikan secara penuh) bagi pemiliknya. Mereka memiliki tanah dan manfaatnya. Mereka berhak melakukan semua transaksi atas tanah tersebut dalam bentuk jual-beli, niaga, gadai, hibah, wakaf dan diwariskan. Tanah tersebut tidak bisa dicabut tanpa seizinnya. Negara harus mengganti harga tanah dan manfaatnya jika ingin membebaskan tanah tersebut. Hanya saja, tanah yang dibagikan penguasa kepada perorangan jika lewat tiga tahun tidak dikelola dan dimanfaatkan, maka ketika tanah itu dicabut dari pemiliknya dan diserahkan ke orang lain, negara tidak wajib membayar uang ganti rugi; baik ganti rugi tanah maupun ganti rugi manfaat tanah. Karena dia telah menyia-nyiakan tujuan pemberian itu, yaitu untuk dikelola dan dimanfaatkan, dan dia tidak lagi berhak atas tanah tersebut. Membiarkan tanah itu berada padanya berlakukan tindakan yang sia-sia. Karenanya, Umar meminta Bilal ibn Harits al-Muzani untuk mengembalikan tanah al-Aqiq yang tidak digarapnya, dengan berkata kepada Bilal terlebih dahulu; Rasululloh saw. memberimu tanah bukan untuk ditahan dari orang lain, tetapi untuk dikelola dan dimanfaatkan. Lalu Bilal menjawab; demi Allah, aku tidak melakukan apa-apa, dan Rasululloh saw memberiku sebidang tanah ini. Umar berkata kepadanya; demi Allah, kamu harus mengelolanya”. Dan Umar akhirnya mengambil tanah yang Bilal tidak mampun menggarapnya tanpa memberikan ganti rugi. Lalu Umar membagikan kepada orang lain. Diriwayatkan dari Umar “barangsiapa menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi miliknya, tidak ada hak bagi orang yang mengekang tanah selama masa tiga tahun”. Diapun berkata; “barangsiapa mengosongkan tanah tanpa mengelolanya selama tiga tahun, lalu datang orang lain dan menggarapnya, maka tanah tersebut milik orang yang menggarap tanah”. Dan ijma’ sahabat menetapkan orang yang tidak menggarap tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya itu dicabut dan diberikan kepada orang lain.
2.3 Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Perjanjian (Shulh)
Tanah shulh adalah tanah dimana pemiliknya diajak berunding status tanahnya dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi umat Islam, apapun bentuknya. Ini berdasarkan al-Qur’an dan hadits shohih yang mewajibkan umat Islam untuk menepati janji-janjinya.
Ada beberapa macam tanah shulh sesuai bentuk perjanjian yang disepakati. Pertama; Tanah diserahkan kepada orang Islam dan pemiliknya dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan kesepakatan, seperti yang terjadi pada umat Yahudi Bani Nadlir. Rasululloh saw. melakukan perdamaian dengan mereka dengan memindahkan mereka dari madinah. Mereka boleh membawa harta bendanya kecuali senjata. Seorang pemimpin diberikan wewenang untuk menentukan bentuk perjanjian yang akan dipakai dengan memperhatikan kepentingan umat Islam.
Kedua; pemilik tanah masih tetap menempati tanahnya dengan syarat membayar pajak dengan jumlah tertentu. Status Tanah dan manfaatnya tetap menjadi miliknya sesuai dengan perjanjian. Mereka dapat melakukan berbagai transaksi, seperti yang mereka lakukan terhadap barang miliknya. Mereka boleh menjual, mewakafkan, menghibahkan atau mewariskan. Mereka hanya dikenai pajak yang telah ditentukan saat perjanjian, dan tidak ada tambahan-tambahan yang lain. Pajak ini statusnya seperti jizyah. Sehingga ketika kepemilikan tanah berpindah ke tangan orang Islam, maka ia tidak dikenai pajak. Karena tanahnya bukan tanah kharaj. Begitu pula ketika pemilik tanah itu masuk Islam, maka gugurlah kewajiban membayar pajak, seperti ditiadakannya jizyah dari orang Islam. Contoh model itu adalah tanah Hajar dan Bahrain. Ibn Majah meriwayatkan dari Al-Ala’ al-Hadlhromi, ia berkata; “Rasululloh saw. mengutusku ke Bahrain dan Hajar. Lalu saya mendatangi pembatas diantara saudara yang salah satunya masuk Islam. Maka saya mengambil 1/10 dari orang Islam dan pajak dari orang musyrik”. Demikian itu karena Hajar dan Bahrain dibebaskan secara damai, seperti halnya daerah Ailatul Aqobah, Daumatul Jandal, dan Adzruj. Daerah-daerah tersebut menyerhakn upeti pada Rasululloh saw. Demikian juga kota-kota Syam —selain Qisariah—wilayah Jazirah dan wilayah Khurasan. Seluruh wilayah diatas —atau kebanyakannya— dibebaskan dengan damai.karenanya hukumnya adalah hukum shulh.
Ketiga; tanahnya milik kita, dan mereka boleh menempati dan meramaikan tanah tersebut dengan kewajiban mereka membayar pajak yang telah disepakati. Hukum dan pajak tanah ini seperti hukum dan pajak tanah yang dibebaskan dengan kekerasan.
2.4 Tanah-tanah Lain yang Menjadi Milik Negara
Kita juga akan menemui jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan. Tanah-tanah sperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara dibawah penguasaan Nabi saw. dan para Imam seeninggal beliau, sebagaimana dinyatakan oleh Allah yang Mahatinggi dan Mahakuasa dalam ayat Alquran berikut ini:
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i)[1465] yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (Tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. al Hasyr [59]: 6).
Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa atau telah punah, ia menjadi milik negara sebagaimana dinyatakan di dalam sebuah riwayat dari Hammd ibnu ‘Isa dari Imam Musa ibnu Ja’far, “Anfal menjadi milik Imam. Anfal adalah setiap tanah yang penduduknya telah binasa (punah)....”
Begitu juga tanah yang baru terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol) yang terbentu ditengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik negara berdasarkan aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “setiap tanah yang tidak berpenghunu menjadi milik Imam.”
2.5 Batasan Otoritas Pribadi atas Tanah
Dari berbagai perincian yang telah dipaparkan diatas , kita dapat memahami wewenang seorang individu atas tanah, dimana hak pribadinya berdiri di atas dasar salah satu sebab ini:
1. Reklamasi atas sebidang tanah negara.
2. Masuknya para penduduk suatu daerah ke pengkuan Negara Islam secara sukarela, di mana mereka juga memeluk Islam secara sukarela.
3. Suatu daerah masuk menjadi bagian dari Darul Islam melalui perjanjian damai yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian.
2.6 Pandangan Umum Islam Ihwal Tanah
Berdasarkan aturan-aturan Islam yang beraneka ragam tentang tanah serta pemahaman kita akan berbagai perinciannya, kita dapat menyimpulkan pandangan umum Islam tentang tanah dan jalannya dibawah naungan Islam, yang mana Nabi saw. serta penerus beliau yang sah berusaha mengaplikasikannya. Sehingga ketika nanti kita coba menghadirkan aturan-aturan hukum Islam yang terkait dengan kekayaan alam dan sumber-sumber produksi dasar lainnya secara keseluruhan, kita akan kembali pada pandangan umum Islam ihwal tanah tersebut dan melihat melaluinya dengan pandangan yang lebih umu dan lebih luas, guna memformulasikan dasar dan fondasi doktrinal bagi distribusi sebelum produksi.
Kita harus memperjelas posisi Islam dalam memeriksa kandungan ekonomi dari pandangan Islam tentang tanah juga mengisolasinya dari segala pertimbangan politik. Untuk itu, sebaiknya kita mulai dengan menentukan pandangan umum Islam dari sebuah contoh ilustratif yang dapat membantu kita memahami kandungan ekonomi pandangan umum tersebut, bebas dari segala beban politiknya.
Mari kita andaikan bahwa sekelompok kaum Muslim bermaksud untuk menjadikan suatu daerah yang masih perawan sebagai tanah air (tempat bermukim) mereka. Lalu disana tumbuhlah masyarakat Islam yang membangun berbagai hubungannya berdasarkan Islam. Mari kita bayangkan bahwa pemimpin mereka yang sah, yakni Nabi saw. atau khalifah beliau, mengatur hubungan-hubungan ini dan mewujudkan Islam dalam masyarakat itu dengan segala kebaikan dan nilai ideologis, budaya, serta hukumnya secara keseluruhan. Lalu, di manakah posisi sang pemimpin dan masyarakat dalam hubungannya dengan tanah dan pengaturan kepemilikannya?
Jawaban atas pertanyaan di atas bisa didapatkan dari berbagai perincian yang telah dipaparkan. Tanah dalam contoh kita di atas – yang kita andaikan menjadi tanah air masyarakat Islam, dimana peradaban surgawi akan tumbuh – kita asumsikan sebagai tanah yang masih perawan, belum terjamah manusia. Artinya, untuk pertama kalinya tanah tersebut bersentuhan dengan manusia dan masuk ke kehidupannya pada sebuah momen sejarah.
Lazimnya, tanah dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, tanah yang subur secara alami, di mana alam menyuplainya dengan segala penopang kehidupan, seperti air, kehangatan, kegemburan, dan hal-hal lainnya. Kedua, tanah yang tidak dinikmati anugerah alam itu sehingga membutuhkan kerja manusia untuk memenuhi hal-hal tersebut. Dalam terminologi hukum, tanah ini disebut sebagai tanah mati. Maka tanah tadi yang kita asumsikan menjadi saksi bagi lahirnya masyarakat Islam, adalah tanah yang subur secara alami atau tanah mati, dan tidak ada jenis ketiga.

2.7 Penentang Kepemilikan Tanah
Berbagai keraguan yang biasanya dihembuskan oleh para penentang kepemilikan tanah sering kali diarahkan pada kemunculan historisnya yang bermasalah dan pada akar-akarnya yang telah tertanam selama berabad-abad. Terkadang lebih jauh dar itu. Mereka menganggap gagasan kepemilikan dan hak individu atas tanah sebagai turunan niscaya dari prinsip keadilan sosial.
Kemunculan kepemilikan tanah dan wewenag historisnya sebagian besar dianggap berasal dari kekuasaan dan dominasi. Kekuasaan dan dominasi memainkan peran penting di dalam sejarah, dalam seluruh ketidakadilan distribusi tanah dan pelimpahan hak atas tanah di antara para individu. Nah, jika dalam sekarah manusia diketahui bahwa kekuasaan dan perampasan serta faktor-faktor kekerasan lainnyalah yang menjadi pembenar faktual dan otoritas historis bagi kepemilikan tanah dan hak-hak atas tanah, maka wajar jika hak-hak ini diakhiri dan kepemilikan tanah sebagaimana dicatat dalam sejarah dipandang sebagai jenis perampokan.
Kita tidak menyangkal keberadaan faktor-faktor kekuatan dan perampasan maupun peran mereka dalam sejarah. Namun, faktor-faktor ini tidak menjelaskan kemunculan kepemilikan tanah dan hak-hak atas tanah sebagaimana dicatat di dalam sejarah. Karena jika anda merampas sebidang tanah dengan kekuatan dan kekerasan, maka hal ini berarti harus ada orang lain yang lebih dulu memiliki tanah tersebut sebelum anda rebut. Tanah tersebut harus menjadi milik orang lain dulu sebelum anda rampas dengan kekuatan dan kekerasan.
Mari kita bayangkan sebuah suku primitip menetap di suatu daerah dan memulai kehidupan pertaniannya. Setiap individu suku itu pasti menguasai sebidang tanah di daerah itu sesuai dengan kemampuan dan sarana yang dimilikinya. Ia akan menggarap tanah tersebut guna menikmati hasil dan manfaatnya. Pembagian tanah ini didasarkan oleh kerja, di mana tidak mungkin semua individu menguasai setiap jengkal tanah di daerah tersebut. Dari pembagian ini akan muncul hak-hak privat para individu. Inilah awal munculnya hak atas tanah, yang tepat berdasarkan kerja serta usaha yang dicurahkan seorang individu. Setelah itu barulah faktor kekuatan dan kekerasan muncul, ketika seseorang yang lebih kuat dan berkuasa merampas tanah serta ladang-ladang orang lain.
2.8 Komponen Politis Kepemilikan Tanah
Islam mengakui sisi politis dari tindakan menghidupkan tanah yang sejatinya merupakan tindakan ekonomi. Tindakan politis yang dilakukan atas tanah dan yang memberikan prilakunya hak atas tanah tersebut, adalah tindakan yang dengannya tanah tersebut masuk ke pangkuan Islam.
Faktanya, masuknya tanah menjadi bagian dari kehidupan Islami, serta kontribusinya dalam kehidupan islami dan kemakmuran materialnya, sering kali disebabkan oleh faktor ekonomi. Contohnya adalah usaha yang dilakukan individu dalam mereklamasi sebidang tanah yang masuk ke pangkuan Islam, di mana ia menghidupkan tanah tersebut dan membuatnya berkontribusi dengan produktivitasnya. Begitu pula, di saat yang lain hal ini bisa disebabkan oleh faktor politis. Contohnya adalah tindakan memasukkan tanah hidup dan subur ke pangkuan Islam. Kedua jenis tindakan ini (tindakan ekonomi dan tindakan politis) memiliki landasannya masing-masing dalam Islam.
Tindakan memasukkan tanah hidup dan subur ke pangkuan Islam terdiri dari dua jenis. Pertama, tanah ditaklukan dan jatuh ke tangan pasukan Muslim lewat jihad. Kedua, tanah masuk kepangkuaan Islam karena penduduknya menyerah secara sukarela.
Jika tanah masuk ke pangkuaan Islam dan menjadi bagian dari kehidupan islami lewat penaklukkan, maka tindakan politis di sini akan dipandang sebagai tindakan umat secara keseluruhan, bukan tindakan individu tertentu. Karena alasan itulah, umat secara keseluruhan menjadi pemilik tanah tersebut atas dasar prinsip kepemilikan publik.
Tetapi, jika tanah subur masuk ke pangkuan Islam dan menjadi bagian dari masyarakat islami dikarenakan para pemiliknya menyerah dan menerima Islam, maka tindakan politis di sini adalah tindakan para individu, bukan tindakan umat. Karena itulah di sini Islam mengakuihak para individu berkenaan dengan tanah subur milik mereka, dan memberi mereka hak untuk tetap menguasai tanah mereka.



























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kita dapat menarik aturan-aturan syari’ah berikut ini yang berlaku atas setiap tanah yang ketika dianeksasi oleh Darul Islam merupakan tanah subur yang digarap oleh usaha manusia.
Pertama, tanah tersebut menjadi milik bersama umat Muslim, di mana setiap individu tidak bisa mendapatkan hak milik atasnya.
Kedua, setiap Muslim memiliki hak atas tanah tersebut dalam kapasitasnya sebgai bagian dari masyarakat Muslim, namun para kerabatnya tidak berhak mewarisi tanah itu darinya.
Ketiga, setiap individu tidak berhak memindahtangankan hak kepemilikan tanah tersebut dengan cara menjualnya, memberikannya sebagai hadiah, ataupun dengan cara-cara lainnya.
Keempat, waliyyul amr adalah pihak yang bertanggung jawab dalam menjaga dan memanfaatkan tanah tersebut, serta berhak untuk membebankan pajak tanah kepada para penggarapnya.
Kelima, status kepemilikan pajak tanah yang dibayarkan para penggarap kepada waliyyul amr, sama dengan status kepemilkan tanah tersebut, yaitu: milik bersama umat Muslim.
Keenam, hubungan antara tanah tersebut dengan para penggarapnya berakhir seiring dengan berakhirnya kontrak sewa. Para penggarap tidak berhak memonopoli penguasaan terhadap tanah tersebut setelah kontrak sewa berakhir.
Ketujuh, jika tanah kharaj tidak tergarap dan menjadi tanah mati, ia tetap tidak kehilangan statusnya sebagai milik publik. Seorang individu yang menggarap dan menghidupkan kembali tanah tersebut, tetap tidak diperkenankan menguasainya sebagai milik pribadi.
Kedelapan, keadan tanah yang digarap dengan usaha dan kerja pemilik aslinya pada saat penaklukan, dipandang sebagai dasar bagi penyematan status milik bersama, serta sebagai dasar bagi pemberlakuan aturan-auran di atas. Tanah taklukan tidak terkena aturan-aturan tersebut kecuali bila ia – pada aat penaklukan – merupakan tanah garapan yang melibatkan usaha manusia.
Sedangkan tanah yang pemiliknya masuk Islam secara sukarela, maka ia memiliki hak atas tanah yang dikelolanya tanpa harus membayar pajak kepada pemerintah.

Sabtu, 06 November 2010

Perbankan Syariah

BAB II
PEMBAHASAN

1. SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah [[haji].
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
2. SEJARAH PERBANKAN ISLAM DI INDONESIA
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut beberapa di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam; konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah, hingga saat ini (2008) kita masih melihat Prof. Dawam Rahardjo dengan semangatnya yang tinggi menghadiri seminar ekonomi syariah sebagai solusi ekonomi global, masih kita melihat Bapak Dawam Rahardjo dengan semangatnya mendengarkan isi seminar tersebut bahkan sempat melontarkan beberapa pertanyaan atau pernyataan, walau sudah tidak setegap dulu badanya namun jiwanya masih penuh dengan semangat, kabar yang kami terima bahwa beliau sedang menulis buku sejarah pemikiran ekonomi di indonesia sebanyak 2000 halaman, adapun bapak Karnaen A perwataatmadja masih sering terlihat dalam beberapa pertemuan di IAEI, beliau sekarang aktif pula sebagai DPS BNI Syariah, dan Bapak Amin Aziz kami masih melihatnya aktif dalam mengisi berbagai seminar ekonomi islam, aktif pula dalam gerakan pendirian BMT, dan aktif pula menulis buku mengenai makna al-fatihah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Lalu bersepakatlah para anggota Musyawarah Nasional tersebut untuk mengajukan usulan Pendirian Bank Syariah yang dipimpin oleh KH Hasan Basri kepada Presiden RI, maka diajukanlah usulan pendirian bank syariah ini kepada Bapak Soeharto Presiden pada masa itu, ditanya oleh Bapak Presiden “apa nama bank yang akan diusulken?”, dengan cerdik KH Hasan Basri menjawab, “Bank Syariah” dan bukan dengan kata syariat karena pada masa itu istilah syariat identik dengan pendirian negara islam, walhasil diterimalah usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan lainnya
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. dengan fokus pendirian berada disekitar masjid untuk menjaring dana-dana ummat, pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 dimana banyak bank konvensional yang di likuidkan karena buruknya keadaan bisnis, rendahnya nilai rupiah, serta melonjaknya bunga, Bank Muamalat adalah salah satu bank yang selamat dari badai krisis dengan sistem syariahnya yang dipakai, dan juga hampir tidak ada pembiayaan yang berhubungan langsung dengan export pada saat itu. Hingga saat ini sudah ada 3 Bank Umum Syariah, 28 Unit Usaha Syariah, 159 Kantor Pusat/Kantor Unit Usaha Syariah, 242 Kantor Pusat Operasional, 146 Kantor Cabang Pembantu, 27 Unit Pel;ayanan Syariah, dan 204 Kantor Kas, dengan total Asset sebesar Rp. 44.339.780.000.000 (Empat puluh empat triliun tiga ratus tiga puluh sembilan miliar dan tujuh ratus delapan puluh juta rupiah).
Begitulah sejarah awal berdirinya bank syariah di Indonesia dengan diprakarsai oleh beberapa orang yang mempunyai idelaisme, keyakinan bahwa sistem ekonomi syariah, sebuah sistem yang menjauhkan diri dari larangan Allah Azza wa Jalla adalah solusi bagi kesejahteraan ekonomi bersama sebuah Negara, maupun sebuah ekonomi dunia, walaupun pada awalnya banyak orang yang meremehkan sistem ini, banyak yang meremehkan pendirian bnnk bersistem syariah, bahkan tidak sedikit yang mencela, namun dengan keteguhan, dan rahmat Allah Azza wa Jalla para penggagas awal sistem ini akhirnya berhasil pula didirikan Bank Syariah, itu perjuangan yang dilakukan pada tahun 1980-an, lalu bagaimana pada tahun ini? Bagaimana dengan perjuangan yang bisa dilakukan oleh para generasi muda tahun 2008? banyak kita dengar dari beberapa tokoh seperti Adiwarman Karim yang berkata: “sekarang sudah bukan waktunya lagi bagi saya, namun ini waktunya bagi kalian sebagai generasi muda mengembangkan ekonomi syariah” atau perkataan Bapak Agustianto “kita perlu banyak peranan generasi muda dalam mengembangkan ekonomi syariah”, dan juga perkataan Ali Sakti yang begitu menyemangati para mujahi-mujahid ekonomi islam.
Adalah generasi muda ini dalam skala kecilnya perlu untuk mengamalkan apa yang ia ketahui mengenai ekonomi islam dari dirinya sendiri baik itu menghindari riba, menghindari akad-akad ribawi, menghindari berbagai transaksi yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan sekuat tenaganya, dan yang lebih bagusnya lagi bisa memulai melaksanakan proses pembiayaan dengan akad-akad syariah, menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, melanjutkan pendidikan ekonomi syariahnya, dan belajar dengan sungguh-sungguh baik itu ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan atau dari pengalaman, adapun dari skala yang lebih besar generasi muda bisa berperan dalam mendukung Undang-Undang yang berhubungan dengan ekonomi syariah, seperti yang belum ada saat ini Undang-Undang Zakat sebagai pengurang pajak, atau Undang-Undang lainnya, dengan adanya semangat persatuan, keilmuan, serta ketakwaan, semoga Allah memudahkan kita dalam memperjuangkan hal tersebut
3. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
1.1 Jasa Untuk Peminjam Dana
1.1.1 Mudhorobah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah
• Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
• Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Feature Mudharabah
1. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko
• Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
• Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari
1.1.2 Musyarokah, adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.

Ketentuannya, antara lain :
1. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
• Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan.
• Setiap mitra memiliki hak umtuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
• Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
• seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadith nabi saw berupa taqrir terhadap syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah sebagai nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan Nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihak ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr Abu dawud, alBaihaqi dan adDaruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahawa Aba Manhal pernah mengatakan , “aku dan rakan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang.” Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, “ Aku dan rakan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian. Kemudian kami bertanya kepada nabi s.a.w tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar” Hukum melakukan syirkah dengan kafir Zimmi Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk khaibar(penduduk Yahudi) dengan mendapat bahagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara iaitu: a) akad (ijab-kabul) juga disebut sighah b) dua pihak yang berakad (‘aqidani), mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta c) objek aqad(mahal) juga disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan
Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah adalah objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh diwakilkan.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah iaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Ada pun perkongsian boleh samada berkongsi hak milik (syirkatul amlak) atau/dan perkongsian aqad Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang syari’e sama seperti pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah inan: Khalid dan Faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap seorang. Perkongsian ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’sahabah. Disyaratkan bahawa modal yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberi/berkongsi modal kepada rakan kongsinya bererti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan kepada rakan kongsinya untuk mengelolakan perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakatan semua pihak yang berkongsi manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali r.a yang mengatakan: “kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
2) Syirkah Abdan
Perkongsian abdan adalah perkongsian 2 orang atau lebih yang hanya melibat tenaga(badan) mereka tanpa melibatkan perkongsian modal. Sebagai contoh: Jalal adalah tukang buat rumah dan Rafi adalah juruelektrik yang berkongsi menyiapkan projek sebuah rumah. Perkongsian mereka tidak melibatkan perkongsian kos. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka. Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata” aku berkongsi dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadith ini diketahui Rasulullah saw dan baginda membenarkannya.

3) Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi
1.1.3 Murobahah, adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut.
Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepaki.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.


1.1.4 Takaful
1.2 Jasa Untuk Penyimpan Dana
1.2.1 Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
1.2.2 Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
4. PRINSIP PERBANKAN SYARIAH
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
5. TANTANGAN PENGELOLAAN DANA
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.








BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir dengan pemimpin perintis Ahmad El Najjar yang berbentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. . Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Sesuatu yang membedakan anara bank syariah dan bank konvensional adalah penggunaan sistemnya. Bank syariah menggunakan sistem islam, sedangkan bank konvesoinal menggunakan sistem kapitalis yang mana hal tersebut dipandang kurang baik sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah. Adapun produk dan prinsip bank syariah, antara lain:
Produk Bank Syariah
1. Jasa untuk peminjam dana
• Mudhorobah
• Musyarokah
• Murobahah
• Takaful
2. Jasa untuk penyimpanan dana
• Wadi’ah
• Deposito Mudhorobah
Prinsip Bank Syariah
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

2. SARAN
Dari isi makalah yang telah disusun olah penulis, yaitu pembahasan mengenai Bank Syari’ah, baik dari segi sejarah, produk yang ditawarkan, atau sistem yang digunakan, kita dapat mengetahui perbandingan atau perbedaan antara Bank Syaria’ah dengan Bank Konfensional yang menggunakan sistem kavitalis. Sehingga dari pernyataan tersebut, apabila para pembaca atau maha siswa yang ingin menabung atau menginfestasikan uangnya, penulis menyarankan agar menabung di bank syariah karena bank syari’ah sudah dipandang baik dan tidak merugikan para nasabahnya.















DAFTAR PUSTAKA
Cholil, Drs. Agama menjawab Tentang Berbagai Masalah abad Modern. (Surabaya Penerbit Ampel Suci, 1993)
Hasan Ali Muhammad, Masail Fiqiyah, (Jakarta penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
Nasution Khoridduin, Drs. Riba dan Bunga Bank. (Yogyakarta diterbitkan atas kerja sama dengan Akademia, 1999)

Sabtu, 25 September 2010

kegelapan dan keterangan

kegelapan adalah ya gelap dan keterangan adalah sebaliknya.