BAB II
PEMBAHASAN
1. SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah [[haji].
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
2. SEJARAH PERBANKAN ISLAM DI INDONESIA
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut beberapa di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam; konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah, hingga saat ini (2008) kita masih melihat Prof. Dawam Rahardjo dengan semangatnya yang tinggi menghadiri seminar ekonomi syariah sebagai solusi ekonomi global, masih kita melihat Bapak Dawam Rahardjo dengan semangatnya mendengarkan isi seminar tersebut bahkan sempat melontarkan beberapa pertanyaan atau pernyataan, walau sudah tidak setegap dulu badanya namun jiwanya masih penuh dengan semangat, kabar yang kami terima bahwa beliau sedang menulis buku sejarah pemikiran ekonomi di indonesia sebanyak 2000 halaman, adapun bapak Karnaen A perwataatmadja masih sering terlihat dalam beberapa pertemuan di IAEI, beliau sekarang aktif pula sebagai DPS BNI Syariah, dan Bapak Amin Aziz kami masih melihatnya aktif dalam mengisi berbagai seminar ekonomi islam, aktif pula dalam gerakan pendirian BMT, dan aktif pula menulis buku mengenai makna al-fatihah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Lalu bersepakatlah para anggota Musyawarah Nasional tersebut untuk mengajukan usulan Pendirian Bank Syariah yang dipimpin oleh KH Hasan Basri kepada Presiden RI, maka diajukanlah usulan pendirian bank syariah ini kepada Bapak Soeharto Presiden pada masa itu, ditanya oleh Bapak Presiden “apa nama bank yang akan diusulken?”, dengan cerdik KH Hasan Basri menjawab, “Bank Syariah” dan bukan dengan kata syariat karena pada masa itu istilah syariat identik dengan pendirian negara islam, walhasil diterimalah usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan lainnya
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. dengan fokus pendirian berada disekitar masjid untuk menjaring dana-dana ummat, pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 dimana banyak bank konvensional yang di likuidkan karena buruknya keadaan bisnis, rendahnya nilai rupiah, serta melonjaknya bunga, Bank Muamalat adalah salah satu bank yang selamat dari badai krisis dengan sistem syariahnya yang dipakai, dan juga hampir tidak ada pembiayaan yang berhubungan langsung dengan export pada saat itu. Hingga saat ini sudah ada 3 Bank Umum Syariah, 28 Unit Usaha Syariah, 159 Kantor Pusat/Kantor Unit Usaha Syariah, 242 Kantor Pusat Operasional, 146 Kantor Cabang Pembantu, 27 Unit Pel;ayanan Syariah, dan 204 Kantor Kas, dengan total Asset sebesar Rp. 44.339.780.000.000 (Empat puluh empat triliun tiga ratus tiga puluh sembilan miliar dan tujuh ratus delapan puluh juta rupiah).
Begitulah sejarah awal berdirinya bank syariah di Indonesia dengan diprakarsai oleh beberapa orang yang mempunyai idelaisme, keyakinan bahwa sistem ekonomi syariah, sebuah sistem yang menjauhkan diri dari larangan Allah Azza wa Jalla adalah solusi bagi kesejahteraan ekonomi bersama sebuah Negara, maupun sebuah ekonomi dunia, walaupun pada awalnya banyak orang yang meremehkan sistem ini, banyak yang meremehkan pendirian bnnk bersistem syariah, bahkan tidak sedikit yang mencela, namun dengan keteguhan, dan rahmat Allah Azza wa Jalla para penggagas awal sistem ini akhirnya berhasil pula didirikan Bank Syariah, itu perjuangan yang dilakukan pada tahun 1980-an, lalu bagaimana pada tahun ini? Bagaimana dengan perjuangan yang bisa dilakukan oleh para generasi muda tahun 2008? banyak kita dengar dari beberapa tokoh seperti Adiwarman Karim yang berkata: “sekarang sudah bukan waktunya lagi bagi saya, namun ini waktunya bagi kalian sebagai generasi muda mengembangkan ekonomi syariah” atau perkataan Bapak Agustianto “kita perlu banyak peranan generasi muda dalam mengembangkan ekonomi syariah”, dan juga perkataan Ali Sakti yang begitu menyemangati para mujahi-mujahid ekonomi islam.
Adalah generasi muda ini dalam skala kecilnya perlu untuk mengamalkan apa yang ia ketahui mengenai ekonomi islam dari dirinya sendiri baik itu menghindari riba, menghindari akad-akad ribawi, menghindari berbagai transaksi yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan sekuat tenaganya, dan yang lebih bagusnya lagi bisa memulai melaksanakan proses pembiayaan dengan akad-akad syariah, menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, melanjutkan pendidikan ekonomi syariahnya, dan belajar dengan sungguh-sungguh baik itu ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan atau dari pengalaman, adapun dari skala yang lebih besar generasi muda bisa berperan dalam mendukung Undang-Undang yang berhubungan dengan ekonomi syariah, seperti yang belum ada saat ini Undang-Undang Zakat sebagai pengurang pajak, atau Undang-Undang lainnya, dengan adanya semangat persatuan, keilmuan, serta ketakwaan, semoga Allah memudahkan kita dalam memperjuangkan hal tersebut
3. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
1.1 Jasa Untuk Peminjam Dana
1.1.1 Mudhorobah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah
• Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
• Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Feature Mudharabah
1. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko
• Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
• Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari
1.1.2 Musyarokah, adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
Ketentuannya, antara lain :
1. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
• Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan.
• Setiap mitra memiliki hak umtuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
• Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
• seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadith nabi saw berupa taqrir terhadap syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah sebagai nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan Nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihak ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr Abu dawud, alBaihaqi dan adDaruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahawa Aba Manhal pernah mengatakan , “aku dan rakan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang.” Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, “ Aku dan rakan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian. Kemudian kami bertanya kepada nabi s.a.w tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar” Hukum melakukan syirkah dengan kafir Zimmi Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk khaibar(penduduk Yahudi) dengan mendapat bahagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara iaitu: a) akad (ijab-kabul) juga disebut sighah b) dua pihak yang berakad (‘aqidani), mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta c) objek aqad(mahal) juga disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan
Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah adalah objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh diwakilkan.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah iaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Ada pun perkongsian boleh samada berkongsi hak milik (syirkatul amlak) atau/dan perkongsian aqad Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang syari’e sama seperti pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah inan: Khalid dan Faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap seorang. Perkongsian ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’sahabah. Disyaratkan bahawa modal yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberi/berkongsi modal kepada rakan kongsinya bererti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan kepada rakan kongsinya untuk mengelolakan perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakatan semua pihak yang berkongsi manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali r.a yang mengatakan: “kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
2) Syirkah Abdan
Perkongsian abdan adalah perkongsian 2 orang atau lebih yang hanya melibat tenaga(badan) mereka tanpa melibatkan perkongsian modal. Sebagai contoh: Jalal adalah tukang buat rumah dan Rafi adalah juruelektrik yang berkongsi menyiapkan projek sebuah rumah. Perkongsian mereka tidak melibatkan perkongsian kos. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka. Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata” aku berkongsi dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadith ini diketahui Rasulullah saw dan baginda membenarkannya.
3) Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi
1.1.3 Murobahah, adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut.
Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepaki.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
1.1.4 Takaful
1.2 Jasa Untuk Penyimpan Dana
1.2.1 Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
1.2.2 Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
4. PRINSIP PERBANKAN SYARIAH
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
5. TANTANGAN PENGELOLAAN DANA
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir dengan pemimpin perintis Ahmad El Najjar yang berbentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. . Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Sesuatu yang membedakan anara bank syariah dan bank konvensional adalah penggunaan sistemnya. Bank syariah menggunakan sistem islam, sedangkan bank konvesoinal menggunakan sistem kapitalis yang mana hal tersebut dipandang kurang baik sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah. Adapun produk dan prinsip bank syariah, antara lain:
Produk Bank Syariah
1. Jasa untuk peminjam dana
• Mudhorobah
• Musyarokah
• Murobahah
• Takaful
2. Jasa untuk penyimpanan dana
• Wadi’ah
• Deposito Mudhorobah
Prinsip Bank Syariah
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
2. SARAN
Dari isi makalah yang telah disusun olah penulis, yaitu pembahasan mengenai Bank Syari’ah, baik dari segi sejarah, produk yang ditawarkan, atau sistem yang digunakan, kita dapat mengetahui perbandingan atau perbedaan antara Bank Syaria’ah dengan Bank Konfensional yang menggunakan sistem kavitalis. Sehingga dari pernyataan tersebut, apabila para pembaca atau maha siswa yang ingin menabung atau menginfestasikan uangnya, penulis menyarankan agar menabung di bank syariah karena bank syari’ah sudah dipandang baik dan tidak merugikan para nasabahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cholil, Drs. Agama menjawab Tentang Berbagai Masalah abad Modern. (Surabaya Penerbit Ampel Suci, 1993)
Hasan Ali Muhammad, Masail Fiqiyah, (Jakarta penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
Nasution Khoridduin, Drs. Riba dan Bunga Bank. (Yogyakarta diterbitkan atas kerja sama dengan Akademia, 1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar